Text
Hak anak dalammewaris dari ayah biologis melalui pernikahan sirri (CD + Cetak)
Kata Kunci : Anak, Hak Waris, dan Pernikahan Sirri.
Setelah lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, timbullah istilah Pernikahan Sirri di kalangan masyarat. Pernikahan sirri tersebut ada yang sudah memenuhi syarat-syarat dan rukun nikah dan juga ada yang tidak memenuhi syarat-syarat dan rukun nikah sehingga anak hasil perkawinan trsebut dikenal dengan sebutan anak zina (luar kawin). Perkawinan sirri tersebut berdampak tidak baik pada si istri dan si anak dalam segala hal, khususnya dalam hal hak mewaris dari ayah biologisnya. Banyaknya anak hasil pernikahan sirri baik yang memenuhi rukun dan syarat-syarat pernikahan yang sesuai ajaran hukum islam mupun yang tidak memenuhi syarat dan rukun nikah, menimbulkan masalah yang serius bagi anak dalam menuntut hak mewaris dari ayah biologisnya.
Dari permasalahan tersebut maka peneliti mengkaji tentang kedudukan hak mewaris anak terhadap ayah biologis dari pernikahan sirri, upaya hukum apa yang bisa dilakukan oleh anak jika tidak dapat mewaris dari ayah biologisnya melalui pernikahan sirri.
Adapun metode pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, dimana dalam pengkajian hukum normatif pada umumnya peniliti mengkaji permasalahan tesebut menggunakan bahan hukum yang bersifat normatif. Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari: Bahan hukum primer, Sekunder, dan tersier.
Hasil dari penelitian tersebut dapat disimpulakan bahwa: bagi anak zina (luar kawin) hanya memiliki hubungan mewaris dari ibu dan keluarga ibunya atau dengan pemberian wasiat wajibah oleh ulil amri setelah ayah biologisnya meninggal dunia, mereka tidak memiliki upaya hukum untuk mendapatkan waris dari ayah biologinya. Sedangkan bagi anak perkawinan sirri yang sudah memenuhi ketentuan syarat dan rukun sesuai dengan ajaran agama, maka anak tersebut dianggap sebagai anak sah secara agama dan keberadaan anak tersebut tetap mendapat pengakuan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar RI Tahun 1945, kerena anak tersebut adalah warga negara indonesia. Namun, mereka tidak memiliki upaya hukum yang kuat untuk mengajukan gugatan secara formal, tetapi tetap berhak meminta hak warisnya melalui jalur musyawarah keluarga atau desa (pemberian wasiat wajibah oleh ulil amri)
Tidak tersedia versi lain