CD-ROM
Upaya penyelesaian sengketa tanah antara Perum Perhutani dengan masyarakat (Studi di Desa Sitiarjo Kec.Sumber Manjing Wetan Kab.Malang) (CD)
Permasalan tanah di Indonesia akhir-akhir ini perlu dikaji lebih dalam karena banyaknya permasalahan tentang tanah, baik sengketa dikalangan masyarakat maupun penguasa. Undang-Undang Pokok Agraria 1960 hendaknya bisa membawa angin segar dalam penyelesaian persoalan tanah di indonesia, selain itu UUPA juga merupakan progam perubahan didalam permasalahan agraria yang selalu mengedepankan keadilan dan kemakmeran bangsanya berdasarkan pancasila. Selain UUPA Undang –Pokok kehutanan no 5 tahun 1967 yang kemudian di refisi dengan undang-undang no 41 tahun 1999 tentang kehutanan juga mempunyi peran penting di dalam penyelesaian sengketa tanah. Dikarenakan persoalan yang terjadi sekarang bukan hanya menyangkut tanah perorangan akan tetapi kawasan hutan juga menjadi objek sengketa dengan diawali adanya kegiatan okupasi dari masyarakat wilayah hutan.
UUPA mengklasifikasikan atau membagi bentuk-bentuk penguasaan hak atas tanah dibagi menjadi beberapa kriteria. Pasal 1 bentuk penguasaan tanah yang paling utama adalah penguasaan dari rakyat yaitu bangsa Indonesia, dalam pasal ini bahwa masyarakat dalam hal penguasaan hak atas tanah di prioritaskan oleh negara. Dalam pasal ini disebutkan juga adanya penguasaan hak atas tanah oleh negara sebagai organisasi penguasa yang mempunyai sifat mengatur. Kegiatan penguasaan terhadap areal kehutanan oleh masyarakat untuk dijadikan pemukiman maupun perkebunan tidak dapat dihindarkan. Dengan demikian penguasaan lahan hutan oleh masyarakat bisa dilakukan apabila dalam pengelalaan kawasan hutan yang dilakukan oleh perusahaan negara maupun swasta memenuhi beberapa unsur-unsur dibawah. Adapun hapusnya hak penguasaan hutan berdasarkan keputusan merteri kehutanan No 446/ KPTS-11/1996 Tentang Tatacara permahonan, pemberian dan pencabutan pemberian izin penguasaan hutan, yaitu meliputi:
a. jangka waktu yang diberikan telah berakhir
b. izin yang di berikan oleh menteri kehutanan telah dicabut
c. pengembalian oleh pihak penguasa hutan terhadap pemerintah.
Dalam pelepasan kawasan hutan untuk arel pertanian apabila lahan yang dipakai untuk area kehutanan kurang produktif dibandingkan untuk area pertanian.
Adapun faktor-faktor utama yang mendorong terjadinya suatu sengketa antara masyarakat dengan perhutani yaitu bahwasannya masyarakat kekurangan area pertanian bahkan tidak mempunyai area untuk dijadikan lahan pertanian sehingga kondisi ekonomi masyarakat yang sebelumnya agak setabil menjadi lemah lebih-lebih dengan terjadinya krisis moneter dan naiknya harga kebutuhan pokok sehingga masyarakat tidak mampu untuk memenuhinya. Pendudukan areal kehutanan atau tanah hutan oleh masyarakat sekitar hutan maupun pendatang yang berkeinginan mengolah tanah tersebut yang kemudian berkeinginan untuk dijadikan tanah hak milik oleh masyarakat sulit untuk dicegah terutama bagi pihak-pihak Perum Perhutani.penguasaan terhadap areal pertanian oleh masyarakat diperkuat dengan adanya berbagai penentangan yang mereka lakukan terhadap Perum Perhutani.selain itu masyarakat juga melakukan banyak pembayaran terhadap beberapa orang yang mengatasnamakan LSM pembebasan tanah untuk biaya pelepasan tanah. dari berbagai sifat kesemangatan masyarakat tersebut sangat disayangkan dengan kurangnya sumber daya manusia (SDM) masyarakat sekitar sehingga pemberian materi (uang) dan kesemangatan bekerja terkesan diperalat dan dibodohi oleh sebagian orang yang memanfaatkan mereka, dengan kondisi yang dirasa semakin tidak menemukan titik temu atas persoalan sengketa tanah atau permintaan tanah oleh masyarakat kepada Negara.
Kemudian Perum Perhutani mencoba memberikan berbagai solusi yang antaralain berbentuk PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Pola-pola tersebut ditawarkan oleh Perum Perhutani kepada masyarakat dengan melalui pemerintah daerah yang kemudian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten Malang mengenai program tersebut memberikan sebutan atau istilah lain yaitu PKPH (Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan).
Pola-pola tersebut baik yang ditawarkan Perum Perhutani berupa PHBM maupun pola yang ditawarkan dewan berupa PKPH keduanya mempunyai tujuan yang sama yakni mengembalikan kondisi hutan. upaya yang dilakukan oleh Perum Perhutani dengan masyarakat dalam menyelesaikan sengketa tanah hutan diselesaikan dengan duduk bersama untuk musyawarah dengan melibatkan para tokoh masyarakat, kiai dan pendeta serta sosialisasi secara orang perorangan yang dilakukan Perum Perhutani dan keduannya belum melakuakan penyelesaian di depan Pengadila Negeri
kendala yang dihadapi oleh Perum Perhutani Dalam upaya penyelesaian sengketa tanah hutan bahwasannya jumlah petugas Perum Perhutani di lapanngan sangat sedikit selain itu minimnya SDM masyarakat sekitar hutan dan rendahnya kesadaran hukun dari masnyarakat sekitar wilayah hutan juga menjadi kendala dalam penyelesaian sengketa tanah hutan.
Tidak tersedia versi lain