CD-ROM
Kedudukan pegawai pencatatan perkawinan dalam perkawinan campuran antar warga negara ditinjau dari penerapan Pasal 16 AB (studi kasus di KUA dan Kantor Catatan Sipil Kota Batu) (CD)
Perkawinan campuran menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak dapat disamakan dengan perkawinan campuran menurut GHR Stb. 1898 No. 158 ayat 1, karena dalam GHR disebutkan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan yang disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, golongan rakyat, tempat dan perbedaan agama. Namun sekarang ini di negara kita tidak lagi mengenal adanya perbedaan golongan rakyat dan perbedaan tempat.
Sedangkan perkawinan campuran menurut pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Dalam hubungannya dengan perkawinan campuran ini terdapat masalah yang perlu dibahas yaitu tentang kewenangan Pegawai Pencatat Nikah dalam mencatat dan mengawasi pelaksanaan perkawinan campuran secara Islam, dimana negara asal WNA tersebut menganut prinsip Nasionalitas dan menyatakan bahwa pencatatan perkawinan di Catatan Sipil merupakan sahnya perkawinan. Dan apakah Pegawai Pencatat Nikah (KUA) berwenang dalam melakukan pengawasan serta pencatatan perkawinan campuran tersebut, karena dalam pasal 61 tidak disebutkan secara jelas pegawai yang berwenang mencatatnya sehingga perlu kiranya diketahui siapakah pegawai yang berwenang melakukan pencatatan serta pengawasan dalam perkawinan campuran ini.
Dalam pasal 2 ayat 2 Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yaitu apabila perkawinan dilaksanakan secara Islam maka petugas yang berwenang adalah KUA, sedangkan bagi agama yang lain petugas yang berwenang adalah Catatan Sipil.
Disinilah terdapat dua perbedaan pendapat tentang pihak yang berwenang melakukan pencatatan perkawinan campuran secara Islam yang negaranya juga menganut prinsip Nasionalitas. Pendapat yang satu menyatakan bahwa petugas yang berwenang adalah PPN karena perkawinan dilakukan secar Islam, sedangkan pendapat yang lain menyatakan Catatan Sipil-lah yang berwenang karena negara Indonesia dan juga negara asal dari WNA tersebut sama-sama menganut prinsip Nasionalitas. Lain halnya apabila HPI negara asal WNA tersebut menganut prinsip Domisili dan menerima asas renvoi maka tidak akan menimbulkan permasalahan karena yang diberlakukan adalah hukum intern Indonesia.
Tidak tersedia versi lain