CD-ROM
Tinjauan tentang perkawinan antar agama setelah berlakunya undang-undang no. 1 tahun 1974 di kota Malang (studi Kasus di PN Malang dan Dispenduk kota Malang) (CD)
Sejak di undangkannya Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tetapi sampai saat ini belum ada satupun peraturan yang mengatur masalah perkawinan antar orang-orang yang berbeda agamanya di lain pihak perkawinan antar agama terus terjadi di dalam masyarakat Indonesia. Sebelum adanya UU No. 1 Tahun 1974 perkawinan antar agama, yuridis telah ditampung dalam Stb 1898/158 tentang perkawinan campuran, tanpa memberikan gantinya ketentuan Staatblad tersebut telah dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mempunyai satu pasalpun yang mengatur perkawinan antar agama, sehingga setiap peraturan pelaksanaan yang mengatur perkawinan semacam itu tidak mempunyai landasan hukum dalam Undang-Undang tersebut. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menunjuk hukum agamanya dan kepercayaannya yang bersangkutan sebagai syarat untuk sahnya suatu perkawinan dan pada prinsipnya semua agama yang ada di Indonesia melarang perkawinan antar agama.
Dalam prakteknya Kantor Dinas Kependudukan Kota Malang, sudah tidak lagi melaksanakan perkawinan antar agama berdasarkan pada penafsiran pasal 57 jo pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menurut pemahaman mereka tidak dibenarkan lagi terjadi perkawinan antar agama dan Undang-Undang Perkawinan itu telah jelas menutup kemungkinan terjadinya perkawinan itu. Namun demikian, ada kebijaksanaan lain yang ditempuh oleh Pengadilan Negeri Malang yaitu masih memberi peluang untuk melaksanakan perkawinan antar agama, yang penafsirannya berangkat dari landasan yuridis pasal 57 jo pasal 66 UU No. 1 tahun 1974 jo pasal 7 ayat 2 GHR dan kemudian menghasilkan yurisprudensi MA No. 1400/k/Pdt/186.
Dari ketentuan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 kita melihat bahwa Undang-Undang Perkawinan ini menggantungkan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing pemeluknya, ini berarti bahwa syarat-syarat perkawinan itu sendiri mestinya juga harus didasarkan kepada syarat-syarat perkawinan sebagaimana yang diatur menurut hukum agamanya dan kepercayaannya. Jadi jelaslah bahwa keabsahan perkawinan diukur oleh keabsahan agama dari orang yang melangsungkan perkawinan, maka tidak sah pula menurut UU No. 1 Tahun 1974 termasuk di dalamnya perkawinan antar agama.
Ternyata setelah dipelajari dan dianalisa lebih jauh, secara teoritis memang ada kemungkinan berlakunya ketentuan GHR terhadap masalah perkawinan antar agama berdasarkan pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974, yang memang secara obyektif UU No. 1 Tahun 1974 itu tidak mengaturnya. Oleh karena itu, semata-mata untuk menuju kepada prinsip keadilan dan kepastian hukum serta menghindari adanya perbedaan penafsiran, maka dipandang perlu untuk segera mengadakan suatu ketentuan formal yang baru yang baru yang akan mengatur secara tegas masalah perkawinan antar agama, apakah nantinya akan dibolehkan atau dilarang sama sekali.
Hampir sebagian besar faktor cinta inilah yang menyebabkan terjadinya perkawinan aantar agama di kalangan remaja, dalam kehidupan di jaman modern sekarang ini, pergaulan manusia tidak lagi dapat dibatasi hanya dalam masyarakat yang kecil dan sempit, karena dalam masyarakat yang serba majemuk dan heterogen sulit untuk mencegah adanya orang-orang yang berbeda agama yang saling jatuh cinta dan ingin menjalin hubungan dalam bentuk keluarga.
Kepada masyarakat hendaknya di dalam pergaulannya di jaman modern ini yang sangat luas untuk tetap memegang teguh iman dan kepercayaannya agar tidak terjadi perkawinan antar agama, karena perkawinan antar agama mempunyai akibat hukum yang dihadapi sehubungan dengan perkawinan antar agama tidaklah ringan.
Tidak tersedia versi lain